Kasus Vina Cirebon kembali menjadi sorotan setelah enam terpidana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan mengandalkan bukti baru atau novum. Dalam sistem peradilan Indonesia, khususnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), novum merupakan salah satu alasan sah untuk mengajukan PK, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pengertian Novum Menurut KUHAP
Novum diatur secara tegas dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP. Pasal ini menjelaskan bahwa peninjauan kembali atas suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan apabila terdapat:
“Apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa apabila keadaan tersebut sudah diketahui pada waktu persidangan masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau terhadap perkara pidana yang bersangkutan diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”
Pasal ini menggarisbawahi bahwa novum adalah fakta baru yang tidak terungkap atau tidak diketahui saat persidangan pertama, yang memiliki potensi untuk mengubah hasil vonis sebelumnya, baik dalam bentuk putusan bebas, lepas dari tuntutan, atau keringanan hukuman.
Penerapan Novum dalam Kasus Vina Cirebon
Pada kasus Vina Cirebon, enam terpidana berharap bahwa dengan mengajukan PK berdasarkan novum, pengadilan akan mempertimbangkan bukti baru yang belum diungkap dalam persidangan awal. Sesuai dengan Pasal 263 KUHAP, bukti baru tersebut harus memiliki pengaruh signifikan terhadap putusan. Jika bukti baru ini terbukti sah dan relevan, maka ada kemungkinan besar bagi terpidana untuk memperoleh keputusan yang lebih adil atau bahkan mendapatkan pembebasan.
Pasal ini memberikan ruang bagi terpidana yang merasa ada kesalahan dalam putusan pengadilan untuk terus memperjuangkan keadilan, selama mereka memiliki bukti baru yang dapat diandalkan. Selain itu, novum juga menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memberi kesempatan bagi setiap pihak yang dijatuhi hukuman untuk membuktikan kesalahan atau ketidakadilan yang terjadi pada persidangan awal.
Mekanisme Pengajuan PK Berdasarkan Novum
Menurut Pasal 264 KUHAP, pengajuan PK dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya jika terpidana telah meninggal dunia. PK ini diajukan kepada Mahkamah Agung dengan menyertakan novum sebagai salah satu dasar pengajuannya. Setelah pengajuan PK diterima, Mahkamah Agung akan memeriksa apakah bukti baru tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Pasal 263.
Jika Mahkamah Agung menyetujui bahwa novum tersebut layak dipertimbangkan, maka proses peradilan akan dilanjutkan, dan hasil akhir dari PK ini bisa berupa pengubahan putusan, keringanan hukuman, atau bahkan pembebasan terpidana.
Berdasarkan Pasal 263 KUHAP, novum memainkan peran penting dalam memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperoleh keadilan. Kasus Vina Cirebon, dengan pengajuan PK yang didasarkan pada novum, memberikan secercah harapan bagi terpidana untuk memperjuangkan nasib mereka. Proses PK ini, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam KUHAP, akan menjadi ujian penting bagi sistem peradilan Indonesia dalam menegakkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Bagi masyarakat, kasus ini menunjukkan bahwa meskipun putusan sudah berkekuatan hukum tetap, hukum Indonesia tetap memberi ruang bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum terakhir jika terdapat bukti baru yang signifikan. Kini, kita hanya perlu menunggu bagaimana Mahkamah Agung akan memutuskan kasus ini, dan apakah novum yang diajukan akan membawa perubahan dalam putusan akhir.