Memahami Gender dalam Kesehatan: Mengurai Ketidaksetaraan demi Layanan yang Lebih Inklusif

4
14

Selama ini, banyak yang masih keliru memahami istilah “gender”. Tak jarang, gender disamakan dengan jenis kelamin biologis—padahal keduanya memiliki makna yang sangat berbeda. Jika jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis seperti organ reproduksi, maka gender merupakan konstruksi sosial dan budaya yang membentuk peran, perilaku, serta tanggung jawab yang dianggap “pantas” bagi laki-laki dan perempuan.

Sejak kecil, individu tumbuh dalam norma-norma sosial yang secara tidak langsung mendikte siapa yang seharusnya memimpin, merawat, bekerja, atau tinggal di rumah. Misalnya, laki-laki dianggap kuat, rasional, dan pengambil keputusan; sedangkan perempuan diasosiasikan dengan sifat lembut, emosional, dan penurut. Anggapan-anggapan ini tidak hanya terbentuk dari keluarga, tetapi juga direproduksi dalam pendidikan, media, dan bahkan pelayanan kesehatan.

Sayangnya, pembedaan peran ini tidak jarang melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan. Perempuan, misalnya, kerap mengalami beban ganda: mengurus rumah tangga dan sekaligus bekerja. Selain itu, akses perempuan terhadap layanan kesehatan juga masih dibatasi oleh berbagai hambatan, mulai dari waktu operasional fasilitas yang tidak fleksibel hingga budaya yang menempatkan keputusan pada laki-laki dalam rumah tangga.

Ketimpangan ini sangat berdampak dalam dunia kesehatan. Misalnya, tingginya angka anemia pada perempuan seringkali disebabkan oleh ketimpangan akses terhadap makanan bergizi di rumah. Remaja laki-laki cenderung terdorong melakukan perilaku seksual berisiko untuk menunjukkan “kelelakiannya”, sementara remaja perempuan tidak dibekali kemampuan negosiasi dalam hubungan seksual yang aman karena dianggap tabu membicarakan seks.

Kita juga melihat bagaimana standar layanan kesehatan cenderung berpihak pada laki-laki, misalnya dalam riset dan pengembangan obat yang sebagian besar menggunakan laki-laki sebagai standar uji klinis. Padahal, respons tubuh perempuan bisa sangat berbeda dan berdampak terhadap efektivitas serta keamanan pengobatan.

Mengapa Pengarusutamaan Gender (PUG) Penting dalam Kesehatan?

Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming) adalah strategi untuk memastikan bahwa perspektif gender diintegrasikan ke dalam setiap tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi kebijakan dan program. Dalam konteks kesehatan, PUG bertujuan untuk menjawab kesenjangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari layanan kesehatan.

Dengan PUG, perbedaan kebutuhan berdasarkan gender akan dikenali dan dijawab secara adil. Misalnya, waktu layanan puskesmas disesuaikan agar ibu rumah tangga bisa mengaksesnya tanpa mengganggu tanggung jawab domestik. Atau, pelibatan suami dalam program Keluarga Berencana, sehingga kontrasepsi tidak lagi dianggap hanya urusan perempuan semata.

PUG juga mendorong adanya kebijakan dan program kesehatan yang responsif terhadap pengalaman perempuan—misalnya memastikan perempuan mendapatkan akses deteksi dini kanker, atau menghapus stigma terhadap perempuan penderita Infeksi Menular Seksual (IMS).

Tanpa pengarusutamaan gender, program kesehatan berisiko gagal menyasar kelompok yang paling rentan. Misalnya, jika layanan HIV/AIDS hanya dirancang berdasarkan perilaku laki-laki, maka perempuan yang mengalami kekerasan seksual, tidak memiliki daya tawar, atau tidak bisa menegosiasikan penggunaan kondom akan tetap terpinggirkan.

Arah Perubahan: Membangun Layanan Kesehatan yang Setara

Kita butuh pendekatan yang lebih dari sekadar menyediakan layanan kesehatan. Kita perlu membangun kesadaran kritis tentang peran gender dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana hal itu mempengaruhi pilihan serta peluang kesehatan seseorang.

Langkah-langkah konkrit bisa dimulai dari:

  • Meningkatkan edukasi kesehatan reproduksi sejak dini yang setara bagi anak laki-laki dan perempuan.
  • Melatih tenaga kesehatan agar sensitif terhadap keragaman gender dan kebutuhan khusus pasien.
  • Mengintegrasikan isu gender dalam kebijakan kesehatan nasional dan daerah.
  • Memberdayakan perempuan agar memiliki kontrol terhadap keputusan kesehatannya sendiri.
  • Meningkatkan keterlibatan laki-laki dalam kesehatan keluarga, termasuk dalam perawatan anak, pemeriksaan kehamilan, dan kontrasepsi.

Pada akhirnya, kesadaran akan isu gender bukan hanya urusan perempuan atau aktivis. Ini adalah bagian dari upaya membangun sistem kesehatan yang adil, responsif, dan menghormati hak asasi setiap manusia. Mengarusutamakan gender berarti mewujudkan layanan kesehatan yang inklusif, relevan, dan berkeadilan bagi semua.

Soal Latihan
Ceritakan pengalaman pribadi Anda (atau pengamatan langsung di lingkungan sekitar) terkait ketimpangan gender dalam akses layanan kesehatan. Jelaskan bagaimana hal tersebut memengaruhi individu yang terlibat, dan bagaimana seharusnya pengarusutamaan gender diterapkan untuk mengatasi situasi tersebut.

4 KOMENTAR

  1. Di sebuah kawasan padat penduduk di Tanjung Priok, Jakarta Utara, saya mengamati kasus seorang ibu muda bernama Mbak Rini yang mengalami gejala depresi pascamelahirkan. Meski sudah merasa tidak stabil secara emosional dan fisik, ia kesulitan mengakses layanan kesehatan. Suaminya bekerja sebagai buruh pelabuhan dan jarang berada di rumah, sementara ia tidak memiliki dukungan keluarga dekat di Jakarta. Keterbatasan biaya dan pengasuhan anak juga menjadi hambatan besar.

    Mbak Rini sempat ingin berkonsultasi ke puskesmas, namun tidak tahu bahwa layanan kesehatan jiwa tersedia secara gratis. Tidak ada sosialisasi yang menjangkau ibu rumah tangga seperti dirinya, dan masyarakat sekitar pun masih menganggap masalah kejiwaan sebagai hal yang tabu atau “bukan penyakit serius”. Akibatnya, kondisi Mbak Rini memburuk, dan berdampak pada pola asuh dan tumbuh kembang anaknya.

    Sebaliknya, laki-laki di lingkungan tersebut cenderung lebih mudah dan cepat dalam mengakses layanan kesehatan. Ketika seorang ayah atau kepala keluarga jatuh sakit, seluruh anggota keluarga segera mencari solusi. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan peran yang membuat kesehatan perempuan kurang diprioritaskan.

    Dampak Ketimpangan Ini
    Perempuan merasa tidak berdaya dalam membuat keputusan kesehatan.

    Penyakit atau gangguan mental terlambat ditangani, yang berisiko memperburuk kondisi individu dan keluarganya.

    Perempuan mengalami beban ganda: menjaga keluarga sambil menanggung gangguan kesehatan tanpa dukungan yang memadai.

    Pengarusutamaan Gender: Solusi yang Harus Diterapkan
    Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan penerapan pengarusutamaan gender dalam layanan kesehatan, antara lain:

    Peningkatan edukasi dan sosialisasi tentang layanan kesehatan jiwa dan reproduksi, terutama bagi ibu rumah tangga di permukiman padat.

    Pelibatan laki-laki dalam program-program kesehatan keluarga, seperti kelas ayah, parenting bersama, dan konseling pasangan.

    Pemberdayaan perempuan melalui pelatihan keterampilan dan akses ekonomi agar mereka memiliki otonomi lebih besar atas kesehatan dan kehidupannya.

    Puskesmas ramah gender, dengan penyediaan ruang konsultasi yang privat, tempat bermain anak, dan sistem kunjungan rumah untuk ibu yang tidak bisa datang sendiri.

  2. Selamat malam,saya machbuby 01230100009

    Pengalaman di Tempat Kerja sebagai Teknisi: Ketimpangan Gender dalam Akses Layanan Kesehatan

    Saya bekerja sebagai teknisi di sebuah perusahaan manufaktur yang mayoritas karyawannya adalah laki-laki. Namun, ada juga beberapa rekan perempuan yang bekerja di bagian teknis dan perawatan mesin. Dalam keseharian, saya melihat bahwa rekan perempuan sering menghadapi tantangan ganda—tidak hanya dalam hal pekerjaan fisik yang berat, tetapi juga dalam akses terhadap layanan kesehatan yang setara.

    Salah satu rekan kerja perempuan, sebut saja Mbak Rina, pernah mengalami nyeri punggung yang cukup parah akibat mengangkat beban berat berulang kali. Ketika dia ingin mengajukan izin untuk berobat, supervisor justru mempertanyakan apakah dia “kuat” bekerja di lapangan. Bahkan ada komentar dari rekan laki-laki lain yang menyiratkan bahwa perempuan “seharusnya tidak kerja di bidang teknis seperti ini.”

    Mbak Rina akhirnya menunda berobat karena merasa sungkan dan tidak ingin dianggap lemah atau tidak kompeten. Akibatnya, kondisi fisiknya semakin memburuk, dan akhirnya ia harus mengambil cuti panjang setelah kondisinya makin parah.

    Dampak terhadap Individu

    Ketimpangan ini berdampak langsung terhadap kesehatan dan mental rekan perempuan saya. Ia merasa tidak didukung dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama dalam mengakses haknya atas layanan kesehatan. Di sisi lain, laki-laki yang mengalami cedera serupa biasanya lebih cepat ditangani karena dianggap “serius” dan memang wajar bagi pekerja teknis.

    Penerapan Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kerja Teknisi

    Sebagai teknisi, saya menyadari pentingnya penerapan pengarusutamaan gender di lingkungan kerja kami yang cukup maskulin. Beberapa langkah yang seharusnya diterapkan antara lain:

    1. Perlakuan Setara dalam Akses Kesehatan: Semua pekerja, tanpa memandang gender, harus punya hak yang sama untuk mengakses layanan kesehatan—termasuk izin berobat, pemeriksaan rutin, dan perawatan lanjutan tanpa stigma.

    2. Peningkatan Kesadaran Supervisor: Atasan perlu dilatih untuk lebih peka terhadap isu gender, agar tidak menganggap keluhan kesehatan dari perempuan sebagai hal yang “sepele” atau “alasan untuk menghindari kerja.”

    3. Evaluasi Ulang Sistem Kerja: Penugasan fisik sebaiknya mempertimbangkan kondisi dan kemampuan individu, bukan didasarkan pada stereotip gender.

    4. Pemberdayaan Perempuan dalam Tim Teknisi: Memberi ruang bagi perempuan untuk bersuara, menyampaikan kendala, dan dilibatkan dalam evaluasi kebijakan kerja teknis agar lebih inklusif.

    Pengalaman ini menjadi pengingat bagi saya bahwa kesetaraan dalam akses layanan kesehatan di tempat kerja adalah bagian dari menciptakan lingkungan yang adil dan sehat untuk semua, tak peduli apa jenis kelaminnya.

    Sekian dan terima kasih

  3. Di wilayah rumah saya ada akses layanan kesehatan sering kali berbeda antara laki-laki dan perempuan. Contohnya kasus di Puskesmas Kecamatan, perempuan hamil harus memeriksakan kandungan secara rutin, tetapi sering terhambat karena jarak fasilitas kesehatan jauh dan keputusan untuk pergi sering bergantung pada izin suami atau keluarga laki-laki. Sementara itu, pihak laki-laki biasanya tidak menghadapi hambatan serupa saat sakit karena dianggap lebih “wajar” jika mereka langsung mencari pengobatan.

    Akhirnya ada dampak pada Individu yang terlibat, yakni pihak perempuan:
    Keterlambatan pemeriksaan kehamilan bisa menyebabkan risiko komplikasi, seperti preeklamsia, anemia, hingga kematian ibu dan bayi.
    Sedangkan Laki-laki:
    Kurangnya edukasi tentang kesehatan reproduksi atau peran suami dalam mendukung kesehatan istri membuat mereka cenderung kurang terlibat dalam menjaga kesehatan keluarga.
    Lalu Keluarga & Masyarakat:
    Ketimpangan ini berimbas pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, serta rendahnya kualitas kesehatan masyarakat secara umum.

    Pengarusutamaan Gender untuk menangani situasi ini dalam layanan kesehatan seharusnya dilakukan melalui:
    1. Edukasi Kesehatan yang Setara:
    Memberikan penyuluhan bukan hanya untuk ibu hamil, tetapi juga suami dan anggota keluarga lain.
    2. Kebijakan Layanan Kesehatan Inklusif:
    Fasilitas kesehatan perlu memiliki jam layanan fleksibel dan transportasi pendukung untuk perempuan di daerah terpencil.
    3. Pelibatan Laki-laki dalam Program Kesehatan:
    Mengajak suami hadir dalam pemeriksaan kehamilan atau penyuluhan KB agar mereka terlibat aktif.
    4. Pelatihan Tenaga Kesehatan dengan Perspektif Gender:
    Tenaga medis perlu memahami hambatan budaya dan sosial yang dialami perempuan, sehingga bisa memberikan dukungan yang tepat.

  4. Annisa nadya azzahra 01230100004

    Sebagai seorang caregiver yang merawat lansia, saya sering menyaksikan secara langsung bagaimana ketimpangan gender memengaruhi akses layanan kesehatan, terutama pada lansia perempuan. Banyak dari lansia perempuan yang saya rawat dulunya adalah ibu rumah tangga seumur hidup, dan karena itu tidak memiliki jaminan kesehatan mandiri atau pensiun seperti laki-laki yang pernah bekerja formal. Hal ini membuat mereka lebih tergantung pada anak-anak atau pasangannya untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, ketika pasangan mereka telah meninggal atau anak-anak memiliki keterbatasan ekonomi, kebutuhan medis mereka sering kali terabaikan.

    Sebaliknya, lansia laki-laki cenderung lebih mudah mengakses layanan kesehatan karena mereka lebih sering memiliki pensiun, asuransi, atau tabungan sendiri dari masa kerja mereka. Ini adalah cerminan nyata dari struktur sosial masa lalu yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, yang berdampak jangka panjang hingga masa tua.

    Ketimpangan ini sangat memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental individu yang terlibat. Banyak lansia perempuan yang saya rawat menunjukkan gejala stres, depresi, dan keputusasaan, karena merasa menjadi beban dan tidak mampu merawat diri sendiri secara layak. Dalam beberapa kasus, penyakit mereka terlambat ditangani karena akses terhadap pemeriksaan dan pengobatan yang lambat atau terbatas.

    Pengarusutamaan gender seharusnya diterapkan secara serius untuk mengatasi situasi ini. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

    1. Kebijakan jaminan kesehatan yang inklusif, khususnya untuk perempuan lanjut usia yang tidak memiliki riwayat kerja formal. Negara harus mengakui kontribusi perempuan dalam pekerjaan domestik sebagai bagian dari pembangunan.

    2. Pelatihan tenaga kesehatan dengan perspektif gender, agar mereka memahami kebutuhan berbeda antara pasien laki-laki dan perempuan, serta peka terhadap hambatan sosial yang dialami pasien perempuan.

    3. Peningkatan edukasi gender dalam keluarga, agar perempuan dari generasi sekarang memiliki akses dan kesadaran yang lebih baik terhadap kesehatan mereka, termasuk hak atas layanan kesehatan yang layak.

    4. Pemberdayaan ekonomi bagi perempuan, bahkan sejak usia produktif, agar mereka tidak bergantung secara finansial pada pasangan atau keluarga saat lansia.

    Dengan penerapan pengarusutamaan gender secara menyeluruh, kita tidak hanya meningkatkan kualitas hidup lansia perempuan, tetapi juga menciptakan sistem kesehatan yang lebih adil dan manusiawi bagi semua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini