Kenapa LSL Masih Jadi Kelompok dengan Kasus HIV/AIDS Tinggi?

0
23

HIV/AIDS masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat global. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kasus baru HIV masih terus bermunculan. Salah satu kelompok yang tercatat memiliki angka infeksi cukup tinggi adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL). Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Lantas, mengapa LSL masih menjadi kelompok dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi?

Gambaran Global: Data di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, kasus HIV pada LSL jauh lebih tinggi dibanding kelompok lain. Data tahun 2022 mencatat lebih dari 685.000 LSL hidup dengan HIV, dengan 15% di antaranya belum terdiagnosis. LSL menyumbang 67% dari seluruh diagnosis HIV baru, bahkan mencapai 83% di antara laki-laki berusia 13 tahun ke atas. Lebih mengkhawatirkan lagi, LSL berusia 13–24 tahun menyumbang 92% dari seluruh infeksi HIV baru pada kelompok laki-laki.
Faktor sosial, budaya, dan ekonomi turut memperparah situasi. Stigma, diskriminasi, homofobia, rasisme, serta tingkat kemiskinan yang tinggi membuat banyak LSL kesulitan mengakses layanan kesehatan. Tak sedikit pula yang memilih bersembunyi, sehingga deteksi dini dan pengobatan menjadi terhambat.
Menariknya, survei juga menunjukkan adanya kompleksitas dalam identitas seksual. Hampir 1 dari 10 pria yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual ternyata juga melakukan hubungan seks dengan pria lain. Bahkan, sekitar 70% pria yang mengidentifikasi diri sebagai LSL dilaporkan menikah dengan perempuan, dan 10% pria heteroseksual yang sudah menikah melaporkan pernah berhubungan seks sesama jenis dalam setahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seksual sering kali lebih kompleks daripada sekadar label identitas, dan bisa berkontribusi terhadap penyebaran HIV.

Faktor Risiko Biologis

Salah satu alasan terbesar LSL rentan terhadap HIV adalah faktor biologis. Seks anal memiliki risiko penularan HIV jauh lebih tinggi daripada seks vaginal—bahkan hingga 18 kali lebih besar. Ada beberapa penyebab:

  • Lapisan jaringan dubur lebih tipis dibanding vagina, sehingga mudah robek dan memudahkan virus masuk.
  • Jaringan dubur rapuh dan rentan luka, memberi akses langsung bagi HIV.
  • Jaringan rektum kaya sel CD4, yaitu sel imun yang justru menjadi target utama HIV.

Penelitian menunjukkan bahwa HIV bisa masuk ke dalam tubuh hanya dalam waktu satu jam setelah paparan, dan dalam 24 jam dapat menyebar ke seluruh tubuh.

Faktor Perilaku Seksual

Perilaku seksual juga memegang peranan penting. LSL cenderung memiliki jumlah pasangan seksual lebih banyak, dan seks tanpa kondom masih sering terjadi. Penggunaan aplikasi kencan daring juga meningkatkan peluang berganti pasangan. Selain itu, LSL usia 18–24 tahun seringkali berhubungan dengan pasangan yang lebih tua, yang mungkin sudah memiliki riwayat paparan HIV lebih tinggi.

Meskipun risiko terbesar ada pada mitra reseptif (“bottom”), mitra insertif (“top”) juga tetap berisiko karena konsentrasi HIV dalam cairan dubur bisa 5–25 kali lebih tinggi dibanding cairan vagina.

Faktor Sosial, Ekonomi, dan Stigma

Selain faktor biologis dan perilaku, kerentanan LSL juga dipengaruhi kondisi sosial dan budaya.

  • Kemiskinan dan pengangguran membatasi akses layanan kesehatan serta mendorong sebagian LSL pada perilaku berisiko, termasuk penggunaan narkoba.
  • Stigma, homofobia, dan diskriminasi membuat banyak LSL enggan memeriksakan diri atau menjalani pengobatan.
  • Isolasi sosial dapat menyebabkan depresi, penyalahgunaan zat, dan perilaku seksual berisiko.

Sebuah studi Rutgers School of Public Health (2021) menemukan bahwa stigma HIV berhubungan dengan tingkat pengobatan yang rendah, penggunaan kondom tidak konsisten, dan perilaku seksual berisiko lebih tinggi.

Upaya Pencegahan HIV pada LSL

Meski angka kasus HIV pada LSL masih tinggi, ada strategi yang efektif untuk menekan penularan:

  1. Kondom – Penggunaan kondom secara konsisten terbukti mengurangi risiko HIV dan infeksi menular seksual lain.
  2. PrEP (Profilaksis Pra Pajanan HIV) – Obat harian atau suntikan berkala yang dapat menurunkan risiko infeksi HIV hingga 90%.
  3. Tes HIV rutin dan konseling – Membantu deteksi dini dan mencegah penularan lebih lanjut.
  4. Mengurangi jumlah pasangan seksual atau memilih praktik seksual dengan risiko rendah, seperti seks oral atau masturbasi bersama.
  5. Mengurangi stigma dan diskriminasi – Layanan kesehatan yang ramah LSL sangat penting agar mereka berani melakukan pemeriksaan dan pengobatan.

    Bagaimana dengan Lesbian?
    Perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan memiliki risiko HIV lebih rendah dibanding laki-laki heteroseksual maupun LSL. Namun bukan berarti mereka sepenuhnya aman. Faktor risiko tetap ada, misalnya penggunaan narkoba suntik, riwayat berhubungan dengan pria, kurangnya akses layanan kesehatan, hingga pengalaman kekerasan seksual.

    Kesimpulan
    Kasus HIV/AIDS yang tinggi pada LSL bukan hanya disebabkan oleh perilaku seksual, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biologis, sosial, ekonomi, stigma, hingga diskriminasi. Kompleksitas identitas seksual dan keterbatasan akses layanan kesehatan semakin memperparah situasi. Namun, dengan strategi pencegahan yang tepat—seperti kondom, PrEP, edukasi, serta pengurangan stigma—angka penularan HIV pada LSL dapat ditekan. Upaya bersama dari pemerintah, tenaga kesehatan, komunitas, dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk mewujudkan pencegahan yang lebih efektif.

sumber: Why Do Gay Men Get HIV?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini